Catatan : Calvin Castro
EXPRESSINDONEWS-- Kisah kehidupan adalah jalinan dari berbagai kebetulan dan keberuntungan, serta produk dari beragam keadaan yang luar biasa, atau bahkan amat menakjubkan” – Bojan Pozar, Igor Omerza–.
Pertama, dan sesungguhnya utama, Rahayu Saraswati
adalah perempuan asal Desa Langowan Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Kendati populer dengan nama Saras –sebagaimana penyebutan yang sering dipakai media online–, namun Rahayu adalah nama kecil yang terasa lebih puitis untuk menyebut sosok Ketua Umum Tunas Indonesia Raya (TIDAR) yang lengkapnya bernama Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo.
Sebelum terjun kedunia politik pada Pemilu Legislatif periode 2014 - 2019 dan terpilih menjadi anggota DPR-RI Komisi 8 dari Partai Gerindra.
Sebelumnya sosok perempuan milenial ini sejak tahun 2011 sudah menggeluti dunia akting dalam drama perfileman, ia dikenal pribadi yang mencolok dan berani. Berpakaian sedemikian simple, namun sangat memesona. Di satu sisi, ia seorang tipikal perempuan Desa. Di lain sisi, ia merepresentasikan keanggunan, kekuatan, dan selera yang bagus.
Minggu, 19 Desember 2021, ada pemandangan menakjubkan di Hotel Sahid, Jakarta Pusat.
Sebanyak 34 Provinsi di negeri Demokrasi Republik Indonesia melakukan kongres pemilihan Ketua Umum Tunas Indonesia Raya (Ketum Tidar). Ini peristiwa yang semarak. Bagi para perwakilan Kabupaten/Kota yang berasal dari 34 Provinsi yang ada di NKRI secara demokratis memilih Rahayu Saraswati sebagai Ketum TIDAR pada Ormas Partai Gerindra.
Seusai Kongres Tidar, pada hari yang sama adalah waktu yang mengejutkan dan menggembirakan bagi Rahayu Saraswati (37). Perempuan kelahiran Jakarta 27 Januari 1986 ini mendadak viral di media social, daring dan cetak di Indonesia.
Dikarenakan langsung memberikan pernyataan bahwa TIDAR akan konsolidasi di seluruh Indonesia
dalam persiapan pemilu 2024 untuk berkontribusi, baik di Pilcaleg dan Pilkada.
Tak saja pesona kecantikannya yang membuat orang menoleh, tapi keterpilihannya sebagai Ketum TIDAR, menjadi fenomena tersendiri bagi kaum perempuan dan milenial. Seakan ada matahari baru yang terbit di tengah kultur demokrasi pada kongres TIDAR.
Membayangkan Rahayu Saraswati adalah membayangkan desa sebagai ruang utama dan terutama dalam diskursus dan praktek demokrasi sejak perbincangan nilai lokal muncul secara dramatis jelang abad 21 di Provinsi Sulawesi Utara.Di desa seakan berada dasar hakiki dari teori dan praktik demokrasi itu sendiri.
Sebutlah Minahasa dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Minahasa adalah miniatur dari ibu kandung demokrasi Yunani di mata pendatang Eropa. Saat memijak tanah Minahasa, mereka dikejutkan peran ‘Demos’ (rakyat) dan ‘Kratos’ (Pemerintahan) dalam system pengambilan keputusan di sepotong belahan bumi yang tak mereka sangka ini. Bangsa pendatang itu menyebut desa-desa di Minahasa sebagai doors repoblik. “Dalam masa lampau Minahasa, segala kebijakan, keputusan selalu diambil bersama,” sebut Calvin Castro seperti yang diungkapkan oleh
sejarawan Drs. Fendy Parengkuan, MA dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Minahasa Pioner Demokrasi dan Kepemiluan di Indonesia”.
Evert Ernest Mangindaan, Gubernur Provinsi Sulawesi Utara periode 1995-2000 punya metafora unik dan sarkastik; “manusia kardus”, untuk mengambar sikap dan perilaku manusia yang mudah sobek bahkan hancur sekadar diterpa rintik hujan. Rahayu Saraswati tentu bukan titik bidik dari laras kritik bagi para Politisi. Sosok pemimpin yang dipanggil ‘Saras” oleh para kaum Juranlis ini lebih tepat merujuk kepada Nietzsche.
Filsuf eksistensialis ini pernah berujar bahwa manusia bukanlah makhluk natural tapi kultural. Mengapa? Karena bagi Nietzsche, manusia bukanlah makhluk definitif, melainkan makluk yang belum terbentuk sehingga ia harus terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan dirinya sebagai “media” dan “simbol” tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah terpancar keluar hasrat “ekspresif” dan daya-daya “kognitif” manusia.
Anak Desa yang berkarir di Perkotaan ini seperti Rahayu Saraswati, akan selalu punya pandangan yang berbeda dengan anak-anak daratan besar apalagi kota. Mereka lebih bisa mensyukuri apa yang ada. Sebuah didikan alam yang menjadi kultur manusia. Mereka lebih memilih berbagi, dari pada mementingkan diri sendiri. Inilah ajaran tradisi yang membesarkan Rahayu Saraswati, di hadapan para pemilih milenial.
Kembali ke Minahasa,
Tak lebih sepelempar batu dari Zero Point, persis di jantung kota Manado, masih nampak sebuah artefak demokrasi masa lampau yaitu gedung Minahasaraad. DR. Sam Ratulangi, Gubernur Pertama Sulawesi Utara pernah berkantor di Gedung itu. Namun jauh sebelum kemerdekaan, Minahasaraad adalah gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Minahasa. Minahasaraad terbentuk seiring penetapan Minahasa sebagai daerah otonom Hindia Belanda lewat Peraturan Dewan-Dewan Lokal (Locale Raden-Ordonnantie) Nomor 64 tahun 1919. Minahasaraad merupakan Dewan Rakyat pertama di Indonesia. Di gedung itu pula berlangsung sejumlah sidang yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi modern yang menjembatani kesenjangan antara fitrah manusia dan cengkeraman otoriterianisme. Di sana diputuskan sejumlah kontrak sosial, perlindungan hak warga negara, dan mengatur terselenggaranya kedaulatan rakyat melalui hak suara.
Penulis adalah Aktivis Anti Korupsi dan Politisi di Sulawesi Utara.